Pendeckar Javea : (Eps4) Para Petarung
Pendeckar Javea : (Eps4) Para Petarung
"Baiklah. Bersiaplah teman!"
Budi dan Matius memulai tekhnik tidak sempurna tersebut. Tekhnik menggunakan seluruh anggota tubuh tersebut memang menguras tenaga. Karena itu tekhnik tersebut hanya dipakai tiga kali. Tapi berhasil melumpuhkan kedua lawan yang mereka hadapi untuk sementara.
"Gawat bung. Mereka berdua masih berdiri. Tapi di sisi lain kita telah melumpuhkan dua yang lain," terang Matius sambil mengatur napas yang terenga-engah.
Budi mengangguk pertanda setuju dengan pernyataan temannya yang terduduk menunduk di sampingnya. Lalu dia melihat kakaknya senior Ali dan Yosi sedang kesulitan juga. Mereka berdua bukan seperti dirinya. Lain dengan Matius.
"Sepertinya kau harus bergabung dengan kakakmu," ujar Matius.
Sejenak Budi terdiam dan agak kesal terhadap saran Matius. Lalu dia berkata, "ah kau ini. Aku tidak ingin dibantunya dan membantunya."
"Hahaha pasti Yosi kan? Yang ingin kau bantu," gurau Matius.
"Tidak," jawab Budi dengan memerahkan wajahnya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara jerit kesakitan dari salah satu sudut malam gelap. Seluruh para petarung melihat-lihat apa yang terjadi di sebuah sudut gelapnya malam. Rupanya Armanatama, kepala desa Wilangan sedang meronta kesakitan karena tangannya diinjak oleh bayangan misterius.
Dalam kesempatan ini Budi memanfaatkan kelengahan musuh dengan melakukan teknik dari Matius sekali lagi. Kali ini dia menambahkan sebuah tali pendek dan sebuah bilah simetris milik Matius dalam tekhnik tersebut. Akhirnya berhasil melumpuhkan dua musuh yang telah terluka sebelumnya. Sementara dua lainnya kelelahan menghadapi serangan tersebut.
"Tinggal satu lawan satu. Heh. Baik, sekarang giliranku. Bersiaplah jelek! Hea!" Selanjutnya Budi menyerang dengan tekhnik kombinasi pukulan tinju dan telapak tangan secara bertubi-tubi.
Teman-teman Budi juga tidak ingin ketinggalan. Masing-masing menyerang lawan mereka sekuat tenaga dengan tekhnik-tekhnik terbaik mereka.
Walaupun agak sulit Budi berhasil melumpuhkan lawannya. Kemudian dia berlari menuju ke tempat kristal Pamang disimpan. Namun terlambat, para penjaga tergeletak tak bernapas di depan pintu. Sesosok berjubah hijau gelap sedang berjalan menuju kristal Pamang. Jelas dialah yang membunuh para penjaga.
Tanpa ragu Budi menghampiri sosok berjubah itu. "Jangan sentuh itu!"
"Rupanya ada tamu yang mengganggu pesta."
Sebuah kalimat muncul dari mulut sosok berjubah it. Suaranya agak kecil dan lembut. Budi menerka-nerka bahwa dia seorang perempuan.
"Heh bagus sekali. Waktu yang tepat untuk mencoba kemampuanku," kata sosok berjubah sambil melempar jubahnya jauh ke lantai.
"Benar juga kau perempuan. Sepertinya aku harus mengalah padamu," ujar Budi. Lalu menyelipkan bilah panjang pada sarung yang berada di pinggang sebelah kiri.
Suara langkah semakin mendekati Budi. Seorang gadis kini telah berada di depannya. Tatapan petarung pun saling bersinggungan. Tidak aneh jikalau agak membuat jantung Budi berebar.
"Yosi lebih baik daripada dirimu. Aku tidak suka ini. Hea!" Budi akhirnya menyerang sosok berjubah itu. "Apa? Tidak mungkin."
Sosok berjubah itu dengan mudah menghentikan serangan Budi. Sosok itu memegang kakinya. Budi hanya bisa berdiam sambil mencari cara melepaskan kunci di kakinya. Sangat berisiko jika langsung melepaskan diri.
"Katamu kau akan mengalah pada perempuan? heh," tanya sosok berjubah. Lalu memutar kaki budi yang terkunci olehnya.
Budi pun berputar layaknya kambing guling yang sedang diguling-guling. Tidak kehabisan akal dia memanfaatkannya untuk terlepas dari kunci mematikan itu.
"Akhirnya kau memutar kakiku juga. Terima kasih cantik," kata Budi.
"Sekarang tiga lawan satu hai gadis rambut pendek," sambung Matius.
"Rupanya kau mengundang temanmu, anak kecil," ejek si gadis rambut pendek pada Budi.
(Bersambung...)
"Baiklah. Bersiaplah teman!"
Budi dan Matius memulai tekhnik tidak sempurna tersebut. Tekhnik menggunakan seluruh anggota tubuh tersebut memang menguras tenaga. Karena itu tekhnik tersebut hanya dipakai tiga kali. Tapi berhasil melumpuhkan kedua lawan yang mereka hadapi untuk sementara.
"Gawat bung. Mereka berdua masih berdiri. Tapi di sisi lain kita telah melumpuhkan dua yang lain," terang Matius sambil mengatur napas yang terenga-engah.
Budi mengangguk pertanda setuju dengan pernyataan temannya yang terduduk menunduk di sampingnya. Lalu dia melihat kakaknya senior Ali dan Yosi sedang kesulitan juga. Mereka berdua bukan seperti dirinya. Lain dengan Matius.
"Sepertinya kau harus bergabung dengan kakakmu," ujar Matius.
Sejenak Budi terdiam dan agak kesal terhadap saran Matius. Lalu dia berkata, "ah kau ini. Aku tidak ingin dibantunya dan membantunya."
"Hahaha pasti Yosi kan? Yang ingin kau bantu," gurau Matius.
"Tidak," jawab Budi dengan memerahkan wajahnya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara jerit kesakitan dari salah satu sudut malam gelap. Seluruh para petarung melihat-lihat apa yang terjadi di sebuah sudut gelapnya malam. Rupanya Armanatama, kepala desa Wilangan sedang meronta kesakitan karena tangannya diinjak oleh bayangan misterius.
Dalam kesempatan ini Budi memanfaatkan kelengahan musuh dengan melakukan teknik dari Matius sekali lagi. Kali ini dia menambahkan sebuah tali pendek dan sebuah bilah simetris milik Matius dalam tekhnik tersebut. Akhirnya berhasil melumpuhkan dua musuh yang telah terluka sebelumnya. Sementara dua lainnya kelelahan menghadapi serangan tersebut.
"Tinggal satu lawan satu. Heh. Baik, sekarang giliranku. Bersiaplah jelek! Hea!" Selanjutnya Budi menyerang dengan tekhnik kombinasi pukulan tinju dan telapak tangan secara bertubi-tubi.
Teman-teman Budi juga tidak ingin ketinggalan. Masing-masing menyerang lawan mereka sekuat tenaga dengan tekhnik-tekhnik terbaik mereka.
Walaupun agak sulit Budi berhasil melumpuhkan lawannya. Kemudian dia berlari menuju ke tempat kristal Pamang disimpan. Namun terlambat, para penjaga tergeletak tak bernapas di depan pintu. Sesosok berjubah hijau gelap sedang berjalan menuju kristal Pamang. Jelas dialah yang membunuh para penjaga.
Tanpa ragu Budi menghampiri sosok berjubah itu. "Jangan sentuh itu!"
"Rupanya ada tamu yang mengganggu pesta."
Sebuah kalimat muncul dari mulut sosok berjubah it. Suaranya agak kecil dan lembut. Budi menerka-nerka bahwa dia seorang perempuan.
"Heh bagus sekali. Waktu yang tepat untuk mencoba kemampuanku," kata sosok berjubah sambil melempar jubahnya jauh ke lantai.
"Benar juga kau perempuan. Sepertinya aku harus mengalah padamu," ujar Budi. Lalu menyelipkan bilah panjang pada sarung yang berada di pinggang sebelah kiri.
Suara langkah semakin mendekati Budi. Seorang gadis kini telah berada di depannya. Tatapan petarung pun saling bersinggungan. Tidak aneh jikalau agak membuat jantung Budi berebar.
"Yosi lebih baik daripada dirimu. Aku tidak suka ini. Hea!" Budi akhirnya menyerang sosok berjubah itu. "Apa? Tidak mungkin."
Sosok berjubah itu dengan mudah menghentikan serangan Budi. Sosok itu memegang kakinya. Budi hanya bisa berdiam sambil mencari cara melepaskan kunci di kakinya. Sangat berisiko jika langsung melepaskan diri.
"Katamu kau akan mengalah pada perempuan? heh," tanya sosok berjubah. Lalu memutar kaki budi yang terkunci olehnya.
Budi pun berputar layaknya kambing guling yang sedang diguling-guling. Tidak kehabisan akal dia memanfaatkannya untuk terlepas dari kunci mematikan itu.
"Akhirnya kau memutar kakiku juga. Terima kasih cantik," kata Budi.
"Sekarang tiga lawan satu hai gadis rambut pendek," sambung Matius.
"Rupanya kau mengundang temanmu, anak kecil," ejek si gadis rambut pendek pada Budi.
(Bersambung...)
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir.
Jangan lupa komen ya. Satu saja sangat membantu untuk kemajuan blog ini.
Ingat yang sopan komennya. Oke. :)