Histories of Wonosobo

Sugeng rawuh para sedulur.
Untuk mengisi waktu luang, kali ini saya ingin membagikan sebuah sejarah singkat dari sebuah kota bersejarah bagi bangsa Indonesia. Salah satu kota pahlawan di antara kota pahlawan yang telah terkenal lainnya. Mungkin Yogyakarta adalah yang paling bersejarah di daerah Jawa bagian tengah dan mempunyai wilayah kekuasaan yang luas pada waktu penjajahan Belanda. Salah satu wilayah kesultanannya yaitu wonosobo. Berikut ini ceritanya.

Berdasarkan cerita rakyat yang ada, sekitar abad 17 tersebutlah tiga orang pengelana yang masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik. Mereka mulai merintis suatu pemukiman di wilayah Wonosobo. Kyai Kolodete berada di dataran tinggi Dieng (Kejajar), Kyai Karim berada di daerah Kalibeber (Mojotengah) dan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini. Sejak saat itu ketiga daerah ini mulai berkembang dan tiga orang tokoh tersebut dianggap sebagai "cikal bakal" dari masyarakat Wonosobo yang dikenal sekarang ini. Semakin lama daerah ini semakin berkembang, sehingga semakin ramai penduduk.

Di kemudian hari dikenal beberapa nama tokoh penguasa daerah Wonosobo yang pusat pemerintahannya di Selomanik. Dikenal pula seorang tokoh yang bernama Tumenggung Wiroduta di Pacekelan Kalilusi, yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok atau Plobangan saat ini.

Salah seorang cucu dari Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa di Wonosobo. Cucu Kyai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singowedono yang telah mendapatkan hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini. Lalu beliau berganti nama menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masanya pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen, Selomerto.

Pada Awal abad 18 agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. Seorang tokoh penyebar agama Islam yang sangat terkenal masa itu adalah Kyai Asmarasufi yang dikenal pula sebagai menantu Ki Wiroduta salah seorang penguasa Wonosobo. Kyai Asmarasufi pendiri masjid Dukuh Bendosari dipercaya sebagai "Cikal Bakal" atau tokoh yang kemudian menurunkan para ulama Islam dan pemilik Pondok Pesantren terkenal yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya. Seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Sukur Soleh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdulfakih, Kyal Muntaha dan Kyai Hasbullah.

Tahun 1825 s/d 1830 atau tepatnya pada masa perang Pangeran Diponegoro, Wonosobo merupakan salah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. Selain itu juga merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro. Sebagai contoh adalah medan-medan pertempuran seperti Gowong, Ledok, Sapuran, Plunjaran, Kertek, dan sebagainya. Di samping itu dikenal pula beberapa tokoh penting di Wonosobo yang turut mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Imam Musbach atau di kemudian hari dikenal dengan nama Tumenggung Kerto Sinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangunnegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhamad Ngarpah. Ki Muhamad Ngarpah (atau Ki Muhamad Ngampah: saya bingung, yang benar yang mana) adalah salah seorang tokoh penting yang mendukung
perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo.

Perjuangan Muhamad Ngarpah tidak sebatas di daerah Wonosobo saja melainkan di daerah Purworejo, Magelang, Klaten dan sebagainya. Akan tetapi keberadaan beliau sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Muhamad Ngarpah bersama-sama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Logorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempuran di Logorok tersebut Ki Muhamad Ngarpah bersama-sama Ki Mulyosentiko beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara belanda termasuk 40 orang tentara Eropa. Di samping itu berhasil pula mengambil "Emas Lantakan" senilai 28.000 gulden pada saat itu. Pada pencegatan di Logorok ini Belanda mengalami kekalahan, sehingga hanya beberapa orang serdadu yang dapat melarikan diri.

Menurut catatan sejarah, kemenangan Muhamad Ngarpah serta para pendukungnya itu adalah merupakan "Kemenangan Pertama" pasukan pendukung Pangeran Diponegoro. Maka berdasarkan "keberhasilan" itu Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Ki Muhamad Ngarpah dan nama Kertonegoro kepada Mulyosentiko. Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Setjonegoro. Pada masa-masa berikutnya Tumenggung Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama-sama dengan tokoh-tokoh pendukung Pangeran Diponegoro lainnya seperti Ki Muhamad Bahrawi atau Muhamad Ngusman Libasah, Muhamad Salim, Ngabdul Latip dan Kyai Ngabdul Radap.

Dalam pertempuran di Ledok dan sekitarnya, Tumenggung Setjonegoro mengerahkan kiranya seribu orang prajurit yang dipimpin oleh Mas Tumenggung Joponawang untuk menghadapi serbuan pasukan Belanda. Tumenggung Setjonegoro juga pernah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk mengepung benteng pertahanan Belanda di Bagelan. Dalam pertempuran dengan Belanda di daerah Kedu mengakibatkan seorang pemimpin pasukan Belanda yaitu Letnan de Bruijn terbunuh. Selain itu Tumenggung Setjonegoro dan Kertonegoro juga terlibat dalam pertempuran di daerah Delanggu, mereka memimpin pasukan di daerah Landur untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Klaten.

Eksistensi kekuasaan Tumenggung Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk juga hasil laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan Kota Wonosobo sekarang ini.

Peristiwa "Kemenangan Pertama" ini yang dijadikan hari jadi kota Wonosobo yakni 24 Juli 1825. Walaupun peristiwa tersebut bukan terjadi di wilayah Wonosobo. Tapi dengan adanya peristiwa tersebut Tumenggung Setjonegoro diangkat sebagai penguasa di Ledok.

Nah itulah kisah sejarah dari kota Wonosobo, yakni kota kelahiranku. Hehe. Tak ku duga sebelumnya kotaku tercinta berkaitan erat dengan perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Netherland (Belanda). Dulu si cuma tau Pangeran Diponegoro singgah di daerah lereng gunung Sindoro.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Atas berkunjungnya saya ucapkan terima kasih.

Comments