Half Death on Twilight

Suatu hari di langit senja sepulang kerja. Aku berjalan sendiri di antara rumput yang tak bergerak. Langit begitu kelabu dengan cahaya matahari yang meredup. Sampai di ujung jalan setapak aku berhenti. Aku berada di tepi jalan beraspal. Jalan tersebut yang menghubungkan kota Wonosobo dan obyek wisata Dieng. Jalan yang ramai ke tiga setelah Wonosobo-Banjarnegara dan Wonosobo-Magelang. Angkot, Bus, dan kendaraan pribadi sering bermondar-mandir di jalan tersebut. Jalan Dieng, mereka menyebutnya.

Begitu cepat, tidak menunggu lama Angkot muncul dari selatan. Lalu kulambaikan tanganku ke angkot itu. Angkot berwarna kuning dan berbemper hijau merupakan salah satu angkot yang melewati Jalan Dieng. Dengan hanya Rp 1000,- sampailah aku di tempat pemberhentian akhir di desa Garung, kampung halamanku. Desa Garung termasuk desa yang asri dan ramai layaknya kota kecil.

Tidak lama aku berjalan dari jalan raya sampai rumahku. Aku membuka pintu rumah sambil mengucap salam. Rumahku terbilang sepi karena penghuninya hanya 4 orang saja. Ayah, ibu, aku dan adik. Sebenarnya dulu pernah ada dua lagi yang biasa menginap yaitu bude atau nenek. Karena mereka telah meninggal dunia jadilah sepi kaya sekarang.

Sudah menjadi kebiasaan tas "cangklong" yang kubawa kerja aku lempar di sembarang sudut kasur. Tanpa membasuh muka atau mandi aku berbaring di kasur kerasku. Tanpa disadari pula aku terlelap.

Jam menunjukkan pukul 9. Aku mulai membuka mata. Jendela kamar terlihat gelap. Ini justru bukan jam 9 pagi. Lalu aku pergi keluar kamar lalu masuk ke ruang makan. Semuanya telah makan malam. Tinggal aku yang masih keroncongan. Buru-buru aku ambil piring beserta isinya.

Setelah itu aku tidak bisa tidur sampai jam 1.30. Mataku telah lelah membaca tulisan yang berbaris di layar handphone. Aku rasa lima menit berlalu aku telah berada di dunia khayalku. Yang mana orang-orang menyebut itu dunia mimpi. Pikirku itu salah, karena dunianya selalu berbeda yang kurasa.

Terjebak dalam dunia fantasi atau planet bumi yang berbeda. Hal biasa yang kualami saat terlelap. Berada dalam sebuah game yang aku tidak tahu-menahu peraturannya. Namun aku rasa bukan sebuah game. Aku harus menghajar beberapa monster dan setengah manusia. Terlempar beberapa kali, tersesak karena dicekik, dan terjatuh dari tebing. Rasa perih dan sakit tidak terasa lagi.

Perang, sebuah istilah yang terlintas untuk menggambarkan situasi yang kualami. Aku pun bertanya kepada seseorang yang ikut melawan monster. "Hai kawan, mereka datang dari mana? Apakah ini perang? Melawan siapa?" tanyaku terus terang.

"Ya ini benar-benar perang. Perang besar untuk ke dua kalinya di bumi." Orang itu berhenti sejenak untuk menembak musuh beberapa kali. Lalu dia mengisyaratkan padaku untuk berlindung di belakangnya. Aku pun berlari dan berjongkok dibelakangnya. Pakaian tentaranya mengingatkanku dengan pakaian yang dipakai para pahlawan Indonesia dahulu.

"Kau kemana saja? Apa kau hilang ingatan? Saat genting begini masih bertanya seperti itu. Bukan lelucon yang pantas untuk tentara sepertiku."

"Ya kurasa seperti itu. Mungkin aku hilang ingatan. Tapi aku masih ingat ini negara kita, Indonesia," jawabku agar dia yakin. Tapi aku tidak habis pikir. Aku berada di perang dunia ke dua. Perang yang terlalu aneh bagi orang dari abad 21.

"Apa kau dari masa depan?" Dia bertanya sambil melihat apa yang tergantung di leherku. "Aku pernah bertemu seseorang yang juga membawa kabel yang digantung di lehermu."

"Awas!" Sebuah peringatan yang tetuju kepada kami berdua. Kami berdiri dan melihat apa yang terjadi. Di depan kami sebuah peluru seukuran galon meluncur ke arah kami berdua.

"Lari!" Aku pun berlari menjauh sekuat tenaga. Namun temanku yang menjadi satu-satunya narasumber tewas terkena peluru raksasa itu.

Aku berlari terus berlari, mencari tempat untuk berlindung. Monster dan setengah manusia masih mengejarku. Tetapi mereka telah terhadang oleh yang lain. Maksudku teman seperjuanganku. Tidak kusangka mereka akan melindungiku seperti ini. Bukan seperti temanku yang entah kemana.

Aku pun terjatuh di sebuah jalan layang yang kulewati. Terjun dari ketinggian dengan kepala di bawah. Sesaat ingatanku pudar dan tersadar. Aku kembali kerumah. Sejenak aku melihat layar handphone. Tiada pesan singkat di kotak masuk. Untuk mengusir kebosanan aku bermain game di handphone. Lima menit berlalu, mataku terasa pegal dan terlelap lagi dalam tidur.

"Hoi! Kau tak apa?" tanya seseorang sambil menggerak-gerakkan badanku.

"Tidak, tidak apa-apa?"

"Aku heran denganmu."

"Heran kenapa?" tanyaku. Aku pun berdiri dari tempat tidur yang aku rasa seperti matras. Matras, sebuah alat peraga dalam bidang olahraga seperti kasur yang dibuat dari busa. Aku ambil segelas minuman yang tersedia di meja kecil. Lagi-lagi mataku buta. Bukan meja melainkan sebuah kursi.

"Kau tidak mati setelah terjatuh dari ketinggian seperti itu. Apa kau satria piningit?"

Aku rasa aku mulai gila. Hal aneh, merupakan hal aneh. Otakku mulai berputar. Lalu aku tertunduk dan duduk di sebuah kursi panjang.

Tiba-tiba ada tarikan entah apa itu namanya. Tarikan itu menarik badanku berlawanan arah. Mataku terpejam lalu terbuka setengah. Kursi yang kududuki berguncang. Pandangan kabur tidak tentu arah. Sementara itu cermin lemari di kamar samar-samar terlihat olehku.

"Kau kenapa?" Seseorang tiba-tiba berada di depanku.

"Aku tak apa-apa," jawabku sambil menyembunyikan apa yang terjadi.

"Aku ragu denganmu. Kau harus segera di obati. Sebentar lagi dokter akan segera tiba. Bersabarlah."

Suara orang itu mulai menghilang. Mataku terpejam lagi. Rasa aneh itu mulai merasuki lagi. Semakin besar tarikan-tarikan aneh itu. Hingga mataku terasa pegal. Aku tidak tahan lagi. Aku pun melawan rasa itu. Kamarku, aku kembali di kamarku.

Segera kulihat tubuhku. Tiada luka sedikitpun. Dengan mata yang pegal aku merambat tembok rumah menuju kamar mandi. Aku basuh mukaku lalu berwudlu.

Kembali ke kamarku untuk melihat jam di handphone. Tiba-tiba lantunan adzan berkumandang. Matahari telah berada di atas kepala. Waktunya Dhuhur.

"Astaghfirrullahal'adzim." ucapku. "Apa tadi itu yang namanya setengah mati?

Comments