MISTERI VILLA MERTUA INDAH
Alkisah sepasang suami istri yang baru saja menikah sedang duduk di tempat tidur mereka. Mereka berbincang-bincang saling bertatap muka. Tiba-tiba saja sang istri memasang muka cemberutnya ketika suaminya berkata sesuatu padanya.
Lalu sang suami meneruskan perkataannya, "wahai istriku, aku mohon persetujuanmu agar kita tinggal di sana. Di sana tempat kerja menjadi lebih dekat, bukan? Pengeluaran ongkos pun juga sedikit. Artinya kita bisa menghemat dan menabung untuk membeli rumah sendiri."
"Suamiku. Aku tak tega dengan ayah dan ibu di rumah. Siapa yang mengurus mereka nanti?" Sang istri menggenggam erat tangan suaminya. Tatapannya tertuju ke pupil suaminya dengan mata yang berkaca.
Lalu sang suami memeluk istrinya sambil berkata, "istriku aku mengerti perasaanmu. Tapi ini satu-satunya jalan kita berhemat. Gas 3 kg naik, tarif angkot naik, beras naik, apapun serba naik. Asalkan kau jangan menaikkan emosiku. Hm.... Kau bisa ke tempat ibu sesekali untuk menengoknya, bukan? Nanti setiap seminggu sekali kita kirim mereka uang makan juga."
Keesokan harinya mereka pun berangkat ke Villa Mertua Indah. Jaraknya pun cukup jauh tujuh kilometer dari rumah orang tua sang istri. Jika menggunakan kendaraan bisa ditempuh 10-20 menit atau lebih. Pada jam 4 sore mereka telah siap menuju ke Villa Mertua Indah. Barang bawaan yaitu koper extra besar berisikan pakaian dibawa sang suami. Sementara istrinya membawa tas kesayangannya dan beberapa tas plastik berisikan oleh-oleh.
"Sudah siap istriku? Mobilnya telah tiba." Sang suami berdiri di depan pintu rumah sambil melongok ke dalam rumah mertuanya.
"Iya sebentar." Sang istri berjalan keluar pintu bersama dengan orang tuanya. Sesampainya di depan pintu, sang istri bersalaman dengan kedua orang tuanya yang dia sayangi. Air mata bercucuran mengalir di pipi sang istri. Sehingga mengenai tangan ayahnya yang masih dia pegang. Tidak kuasa pula ketika dia memeluk sang ibu yang kini telah lanjut usia juga. Lagi-lagi air matanya membasahi orang tuanya. Pundak ibunya menjadi bulan-bulanan air matanya.
"Ayah, ibu aku pamit dulu. Aku sayang sama kalian." Begitulah ucapan perpisahan antara anak dan orang tua yang di keluarkan sang istri sambil terisak-isak.
Suaminya yang berada di belakangnya maju menemui sang mertua yang dia cintai dan sayangi. Sang suami menjabat tangan lalu memeluk ayah keduanya sambil meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat selama numpang di rumah mertuanya. Tidak lama berpelukan sang suami berpindah ke ibunya yang kedua. Ibu mertua diperlakukan sama seperti ayah mertuanya. Tidak lama juga mereka berpelukan, sang suami melepas pelukannya.
"Kami pamit dulu pak, bu. Assalamu'alaikum." Dengan kompak mereka berdua berpamitan. Lalu berjalan menuju mobil suzuki futura merah yang telah lama menunggu.
Beberapa menit berlalu. Mereka pun tiba di Villa Mertua Indah. Villa yang menurut orang-orang berkepala tiga ke atas sangat mengerikan. Bagi yang pernah tinggal di dalamnya, mereka mengalami siksa batin yang mendalam. Bahkan ada pula yang mendapat siksa fisik. Semua itu karena si tuan rumah Villa. Yang tidak lain tidak bukan adalah Mertua mereka.
Ya betul sekali. Dalam beberapa kasus yang terjadi jika tinggal bersama mertua bagi yang berkeluarga tidaklah enak. Kenapa? Yang pasti kita harus mematuhi aturan si tuan rumah. Apapun yang kita lakukan jika itu tidak sesuai aturan pasti dibentak atau dihukum. Sekecil-kecilnya dihukum paling disuruh menyapu halaman dari belakang sampai depan. Kalau yang berat, saya enggak bisa menyebutkannya. Hehehe.
Akan tetapi tinggal di Villa Mertua Indah bisa juga menyenangkan. Kita bisa menghemat lebih pengeluaran. Misalnya kita lapar, kita bisa ambil secenthong nasi dan satu lauk dari meja makan. Itupun kalau ada. Atau kita bisa memanfaatkan bahan makanan yang tersisa di dalam kulkas untuk membuat suatu makanan. Yang penting enggak dihabiskan semua. Misal seledri 2 batang, kita sisakan 1 batang.
Namun apapun bentuknya, apapun sifatnya, apapun sikap dan perlakuannya, mereka tetap orang tua kita. Walau bukan ibu dan bapak kandung kita. Ada sebuah pemikiran dariku tentang Mertua dan Menantu. 'Apabila Bojo kita belum bisa sepenuhnya menyayangi dan mencintai sang Mertua, maka Bojo kita juga belum sepenuhnya menyayangi dan mencintai kita." Lalu rasa kebencian terhadap mertua merupakan tanda keretakan pernikahan. Hal ini bisa menjadi api yang membakar seutas tali pernikahan. Timbul cek-cok, dorong mendorong, adu lempar piring, dan sepatu melayang akhirnya piring bergambar sepasang burung dara pecah terbagi dua.
Ternyata buah pikirku telah mentok sampai di sini saja. Satu pesan dariku, "Yuk mari, buatlah Villa Mertua menjadi Indah." Oh ya bagi yang belum nikah atau mau nikah mungkin postingan saya juga dapat membantu anda. Apabila ada salah di kata, kata di salah, atau apa namanya saya mohon maaf setulusnya. Cukup sekian, pareng. Matur nuwun.
Lalu sang suami meneruskan perkataannya, "wahai istriku, aku mohon persetujuanmu agar kita tinggal di sana. Di sana tempat kerja menjadi lebih dekat, bukan? Pengeluaran ongkos pun juga sedikit. Artinya kita bisa menghemat dan menabung untuk membeli rumah sendiri."
"Suamiku. Aku tak tega dengan ayah dan ibu di rumah. Siapa yang mengurus mereka nanti?" Sang istri menggenggam erat tangan suaminya. Tatapannya tertuju ke pupil suaminya dengan mata yang berkaca.
Lalu sang suami memeluk istrinya sambil berkata, "istriku aku mengerti perasaanmu. Tapi ini satu-satunya jalan kita berhemat. Gas 3 kg naik, tarif angkot naik, beras naik, apapun serba naik. Asalkan kau jangan menaikkan emosiku. Hm.... Kau bisa ke tempat ibu sesekali untuk menengoknya, bukan? Nanti setiap seminggu sekali kita kirim mereka uang makan juga."
Keesokan harinya mereka pun berangkat ke Villa Mertua Indah. Jaraknya pun cukup jauh tujuh kilometer dari rumah orang tua sang istri. Jika menggunakan kendaraan bisa ditempuh 10-20 menit atau lebih. Pada jam 4 sore mereka telah siap menuju ke Villa Mertua Indah. Barang bawaan yaitu koper extra besar berisikan pakaian dibawa sang suami. Sementara istrinya membawa tas kesayangannya dan beberapa tas plastik berisikan oleh-oleh.
"Sudah siap istriku? Mobilnya telah tiba." Sang suami berdiri di depan pintu rumah sambil melongok ke dalam rumah mertuanya.
"Iya sebentar." Sang istri berjalan keluar pintu bersama dengan orang tuanya. Sesampainya di depan pintu, sang istri bersalaman dengan kedua orang tuanya yang dia sayangi. Air mata bercucuran mengalir di pipi sang istri. Sehingga mengenai tangan ayahnya yang masih dia pegang. Tidak kuasa pula ketika dia memeluk sang ibu yang kini telah lanjut usia juga. Lagi-lagi air matanya membasahi orang tuanya. Pundak ibunya menjadi bulan-bulanan air matanya.
"Ayah, ibu aku pamit dulu. Aku sayang sama kalian." Begitulah ucapan perpisahan antara anak dan orang tua yang di keluarkan sang istri sambil terisak-isak.
Suaminya yang berada di belakangnya maju menemui sang mertua yang dia cintai dan sayangi. Sang suami menjabat tangan lalu memeluk ayah keduanya sambil meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat selama numpang di rumah mertuanya. Tidak lama berpelukan sang suami berpindah ke ibunya yang kedua. Ibu mertua diperlakukan sama seperti ayah mertuanya. Tidak lama juga mereka berpelukan, sang suami melepas pelukannya.
"Kami pamit dulu pak, bu. Assalamu'alaikum." Dengan kompak mereka berdua berpamitan. Lalu berjalan menuju mobil suzuki futura merah yang telah lama menunggu.
Beberapa menit berlalu. Mereka pun tiba di Villa Mertua Indah. Villa yang menurut orang-orang berkepala tiga ke atas sangat mengerikan. Bagi yang pernah tinggal di dalamnya, mereka mengalami siksa batin yang mendalam. Bahkan ada pula yang mendapat siksa fisik. Semua itu karena si tuan rumah Villa. Yang tidak lain tidak bukan adalah Mertua mereka.
Ya betul sekali. Dalam beberapa kasus yang terjadi jika tinggal bersama mertua bagi yang berkeluarga tidaklah enak. Kenapa? Yang pasti kita harus mematuhi aturan si tuan rumah. Apapun yang kita lakukan jika itu tidak sesuai aturan pasti dibentak atau dihukum. Sekecil-kecilnya dihukum paling disuruh menyapu halaman dari belakang sampai depan. Kalau yang berat, saya enggak bisa menyebutkannya. Hehehe.
Akan tetapi tinggal di Villa Mertua Indah bisa juga menyenangkan. Kita bisa menghemat lebih pengeluaran. Misalnya kita lapar, kita bisa ambil secenthong nasi dan satu lauk dari meja makan. Itupun kalau ada. Atau kita bisa memanfaatkan bahan makanan yang tersisa di dalam kulkas untuk membuat suatu makanan. Yang penting enggak dihabiskan semua. Misal seledri 2 batang, kita sisakan 1 batang.
Namun apapun bentuknya, apapun sifatnya, apapun sikap dan perlakuannya, mereka tetap orang tua kita. Walau bukan ibu dan bapak kandung kita. Ada sebuah pemikiran dariku tentang Mertua dan Menantu. 'Apabila Bojo kita belum bisa sepenuhnya menyayangi dan mencintai sang Mertua, maka Bojo kita juga belum sepenuhnya menyayangi dan mencintai kita." Lalu rasa kebencian terhadap mertua merupakan tanda keretakan pernikahan. Hal ini bisa menjadi api yang membakar seutas tali pernikahan. Timbul cek-cok, dorong mendorong, adu lempar piring, dan sepatu melayang akhirnya piring bergambar sepasang burung dara pecah terbagi dua.
Ternyata buah pikirku telah mentok sampai di sini saja. Satu pesan dariku, "Yuk mari, buatlah Villa Mertua menjadi Indah." Oh ya bagi yang belum nikah atau mau nikah mungkin postingan saya juga dapat membantu anda. Apabila ada salah di kata, kata di salah, atau apa namanya saya mohon maaf setulusnya. Cukup sekian, pareng. Matur nuwun.
hmm.. bener juga nih ceritanya.. semoga nanti bisa mencintai mertua seperti mencintai pasangan hidup :D
ReplyDeleteAmien.. Semoga saja...
ReplyDeletehmmmm.....
ReplyDeletenamanya jg tinggal bareng orang tua pasangan, lebih banyak gak enaknya, apalagi suami yg ikut oorang tua istrinya, mau taruh mana muka....
Yups bener, ku rasa taruh dibelakang aja mukanya... :D
ReplyDeletesuka sama kata2 terakhirnya sob, pernikahan bukan saja menikahi seseorang saja,tetapi juga menikahi keluarganya..
ReplyDeleteYups... Thanks bro... Sudah mampir.
ReplyDelete